Semakin
bertambah usiaku dengan hari-hari yang berlalu penuh penyesalan dan air mata.
Udara dihatiku menjadi badai yang menyeruak mambuat aku terus mearasakan
kesedihan diri atas anak-anakku. Terakhir ku dengan semua anakku sudah menikah
dan Rukha baru melangsungkannya sebulan yang lalu.
Sesak rasanya hatiku sebagai
emak mereka. Tak satupun dari pernikahan mereka ku saksikan, bukan karena aku
tak mau, tapi karena aku sangat malu dan sudah tak punya muka dihadapan
maereka. Aku hanya bisa berdoa dari sini, agar mereka selalu diberi kebahagian
dan agar aku diampuni, ampun untuk dosa yang tak terbendung karena telah
mendurhakai putra-putriku.
Aku
sudah tak muda lagi, sekarang umurku hampir 70 tahun. Badan ini rasanya sudah
aus dimakan zaman, lemah dan sakit-sakitan. Begitu halnya dengan mas Seno, tapi
dia lebih kuat dari pada aku. Di usianya yang lebih dari 70 tahun dia masih
sehat dan jarang sakit, dia pula yang selalu mengurusku yang sudah tua retah
dan sakit-sakitan. Sakitku bukan dibadan saja, rasa sesal di hati ini yang
lebih menyakitkan hingga tubuh juga ikut ambruk tak berdaya. Yang kuingat
selalu adalah putra-putriku, aku ingin sekali bertemu mereka sebelum aku mati.
Aku tidak ingin mati menjadi bangkai penuh dosa… aku ingin sekali memeluk
mereka, meskipun maaf baru kudapatkan dengan mencium kaki mereka. Aku rela demi
ampunan anak-anak terhadap emaknya yang takberdaya ini.
Hati
terus bersambung darah tak henti beralir, Yudi anak sulungku datang ke
kalimantan bersama istrinya. Aku sangat pangling sekali dengannya. Anakku yang
kutinggal saat masih remaja kini telah menjadi seorang bapak. Dia melihatku tak
berdaya dipembaringan, lemah, sakit, dan tua sekali. Aku hanya dapat menangis
bila memandang wajahnya, aku teringat berpuluh-puluh tahun silam, aku telah
menelantarkannya dan tidak memberikan dia kasih sayang. Dia datang untuk
menjemputku, membawa aku kembali pulang ke jawa. Yudi dan istrinya merawatku
selama seminggu di rumahku, hingga aku mengiyakan untuk ikut dia kembali ke
jawa, aku rindu Huda, Rohmah, dan Rukha. Memang aku sudah lupa rupa mereka tapi
aku masih ingat telah melahirkan mereka dan aku adalah emaknya meski hanya emak
tak tahu diri.
Mas
Seno tidak ikut kembali ke jawa karena dia masih mempunyai kewajiban di desa
imigrasi itu sebagai abdi kelurahan di perkebunan. Akhirnya hanya aku yang ikut
bersama Yudi dan Sani, menantuku. Aku sudah ingin bertemu anak-anakku yang
lainnya hanya untuk meminta maaf. Memohon ikhlasnya hati mereka atas segala
salahku di masa laluku, masa dimana aku seharusnya memberi kebahagiaan pada
putra-putriku bukan mengukuir luka yang meradang seperti saat ini.
Sampai
di rumah Yudi aku aku disambut anak-anak Yudi yang sangat baik sekali kepadaku.
Yudi bukanlah orang kaya, ia hidup sederhana dengan keluarganya, tapi ia sangat
menyangi anak-anaknya, hingga rumah kecil dan bersahaja ini menjadi selalu
hangat dengan kebahagiaan. Lain dengan mendiang bapaknya dulu yang kaya raya
karena keuletannya menjaga warisan keluarga, sosok putra sulungku ini sangatlah
bersahaja. Ia hidup dengan keringatnya sendiri, jerih payahnya selama ini untuk
kebahagiaan keluarganya. Melihat kenyataan ini hatiku ngilu sekali, mengingat
dulu mas Parman adalah tuan tanah yang dihormati, sedang anakku tidak
mendapatkan apapun dari dirinya karena aku, karena khilaf yang membutakan
mataku untuk menghabiskan seluruh kekayaan mendiang suami pertamaku demi
menikmati kesenangan dunia yang semu.
Sembilu
berdarah merajam qalbu, menusuk dalam ke uluh hati. Sakit, perih dan panas.
Seakan bara api keabadian tak kunjung padam, kekal dibawa mati. Anak-anakku
juga berhati, merasa disakuti dan dikhianati oleh ibundanya sendiri. Setelah
sekian lama ternyata luka itu tak lekas mengering, jangankan terangin angin…
perih tersiram garam rasanya dengan kedatanganku lagi dihadapan mereka.
Sehari
setelah kedatanganku di rumah Yudi, ketiga anakku lainnya datang menengokku.
Huda dan Rohmah datang di sore harinya dengan istri dan suami mereka, sedangkan
Rukha baru tiba di rumah Yudi selepas Maghrib. Putra-putriku bukan anak kecil
lagi, mereka telah menjadi manusia dewasa yang tentunya mengetahui tentang
konsekuensi kehidupan ini.
Lama
mereka menatapku tanpa kata setelah mencium tanganku dengan airmata, airmata
yang aku yakin bukan hanya airmata kebahagiaan namun merupakan luapan emosi
kepadaku selama ini antara senang, kecewa, sedih dan trauma akan masa-masa yang
denganku berupa ukiran pahit dariku.
Bayang-bayang
masa lalu kembali menyapaku, menuntut keadilan…. meminta pertaanggung jawaban
dan menyeretku dalam kedukaan yang melukai hatiku dengan belati beracun yang
kupegang sendiri. Sesak dada ini, bahkan paru-parupun seakan tak mau menerima
udara lagi untukku. Ku iklhaskan jiwa dan raga atau apa pun yang tersisa pada tubuh
yang tua ini sebagai bayaran maaf dari darah dagingku…
”Mak,
malang dirundung sengsara… hati ini beku jauh dari kasih sayangmu……., kami
memang anakmu Mak, tapi pernahkah kau menjadi ibu kami selama ini….. siapa yang
membelai kami disaat menangis, siapa yang merawat kami saat sakit…. bukan
emakkan…!!!!! bulek Tri dan Bulek Sari yang memeluk kami dalam suka duka kami,
bahkan saat kami kelaparan dan bapak kesakitan…. emak kah yang menyuapkan kasih
sayang pada kami??????????????!!!!!!! Tidak Mak!!! Emak tidak pernah mengenal
kami, karena kami hanyalah tumbal untuk mengganti kekayaan bapak yang emak
Tuhankan”
”Maafkan
emak Rohmah….. emak salah”
”tidak
mak!!! Semua ini tak berarti” luka di hati Rohmah membara menyakitkan
”sudah
mbakyu…. beliau emak kita..” pelukan Rukha menghambur ke mbakyunya yang tak
kuasa menahan gejolak di hatinya….
”maaf
kan emak nak….” hanya kata itu yang mampu ku ucapkan….. aku sudah takpantas
mengucapkan apapun didepan anak-anak ku, bibir rasanya kelu…. suara pun hilang,
berat memohon ampun diri.
Kamar
ini saksi kehidupanku, saksi sebuah sidang dunia atas nestapa dan salah kepada
para penghuni rahim yang menghujatku, Tuhan adalah seagungnya hakim… sedangkan
aku hanyalah terdakwa yang tak berdaya… tanpa kebenaran… tanpa pembelaan…. yang
kuharapkan hanyalah pelukan ikhlas dari hati para penghujatku sehingga Hakim
dapat kembali tersenyum kepadaku dan rela menaungiku kelak…
Huda
tetap diam dalam kekecewaan padaku… tak sepatah katapun ia ucapkan, hanyalah
tatapan pilu yang melelehkan perasaanku…..
”Rohmah!
Sudahlah…” Yudi memeluk adik-adiknya, kemudian dia membelaiku dan mencium
keningku…. kurasakan hangatnya hati anak sulungku ini, hati yang penuh kasih
sayang kepadaku.
”Maaf
kan emak Nak…, emak salah, emak durhaka,.. emak berdosa…. balaslah emak nak…..
pukul nak… pukul saja emak ini… emak rela mati asalkan kalian semua memaafkan
emak” aku tak tahu harus mengatakan apalagi….
”Sampun
Mak….. Cukup, kami anak-anakmu… kami berhutang nyawa padamu mak…. tidaklah
pantas kami mendendam padamu Mak” Yudi mencium tanganku dengan airmata yang
semakin menyesakkan saja.
”Rohmah,
Rukha, Huda… adikku…., cukup!!! Tidak pantas kalian terus memojokkan Emak….
hilangkan dendam kalian… tahanlah emosi kalian…. coba lihat diri kita
sendiri..!!!! memangnya apa yang telah berikan kepada Emak… nggak ada kan…
sedangkan hidup kita bila bisa digadaikan takkan sanggup mengganti peluh yang
menetes dari raga Emak saat kelahiran kita…!!!!”
kata-kata
Yudi dingin sekali menyentuh hatiku….. bara ini serasa padam dari api abadi
penyesalan hidupku selama ini. Lega rasanya…. tangan-tangan anakku kembali
menghangatkan rongga keputusasahan yang membeku selama ini. Yudi, Huda, Rohmah,
Rukha.. tak kuasa menahan tangis mereka, memelukku, menciumku….. hangat
rasannya….. aku bahagia sekali…. aku baru merasakan terlahir didunia ini
sebagai seorang ibu, meskipun terlambat… aku sangat-sangat bahagia… kebahagian
yang sudah sangat lama kulupakan dan kuragukan keberadaannya, namun sekarang
kudapat merasakannya….. terima kasih Tuhan….
Diriku
tak membeku lagi.. rasa ku membara…. hatiku ringan… aku baru terlahir kembali,
kurasakan dunia ini terang benderang….. semua indah terlihat… oh Tuhan, sungguh
nikmat kurasakan…..
lambat
laun suara anakku terasa jauh, sentuhan hangat mereka sudah tak dapat
kurasakan…. tapi hangatnya hati mereka yang penuh kasih sayang kekal di
hatiku…. kulihat mas Parman, suamiku tampak sangat tampan sekali, dia tersenyum
dan aku ingin berlari memeluknya…………
”EMAK…!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!”
indah dan bahagia yang kurasakan…..
”TIDAK!!!!, EMAK!!!!!………………..”
——— TAMAT ————
Surabaya, 2010 - banyu pertiwi