Selasa, 31 Juli 2012

Karena Aku Seorang "Emak" (bagian 2)


Sudah belasan tahun kami menikah, bahkan Yudi sudah akan lulus SMP. Hidupku terasa selalu indah dengan kekayaan suamiku, hingga pada suatu saat mas Parman mulai sakit dan semakin hari semakin parah saja sakitnya. Sejak kecil mas Parman biasa hidup soro dan ngonyo dan disinilah mulai terasa lelahnya setalah sekian lama bekerja keras. Yudi dan Huda harus mengganti pekerjaan baapaknya nguusi hasil sawah, tapi tetap saja suamiku ikut mengawasi sambil mendidik mereka karena ia berharap agar suatu saat anakknya bisa mandiri kelak.


Hari berganti, bulan berlalu cepat. Sudah 2 tahun sakit mas Parman tak kunjung sembuh, dadanya sesak dan sering nyeri, dua bualan ini ia hanya bisa tergolek lemah di kamar. Segala pekerjaannya terbengkalai tidak ada yang mengatur bahkan beberapa petak sawah kami harus dijual untuk membiayai pengobatan suamiku. Secara umum ia masih muda, baru 40 tahunan, tapi karena sakitnya yang takkunjung sembuhnya ia tampak sangat tua dan lemah sekali. Karena badannya yang sudah tidak kuat lagi untuk mengurusi kerjanya, keadaan perekonomian keluarga kami pun kacau balau, belum lagi untuk mengobatan mas Parman sendiri yang tidak ada habisnya.

Takdir betul milik Tuhan. Tak lama setelah kondisi suamiku sangat lemah dan sering tidak sadarkan diri, Mas Parman pun menghembuskan nafas terkhir. Meninggalkan kami semua, aku dan anak-anakku tanpa pesan sama sekali. Aku hanya bisa meratap, membayangkan hidupku selajutnya yang sangat menghantuiku. Siapa lagi yang akan menanggung hidupkku dan anak-anaku… entahlah, aku sangat terpuruk sekali waktu itu. Begitu pula dengan anak-anakku yang benar-benar harus kehilangan satu-satunya sosok orang tua mereka yakni, suamiku tercinta.

Kepergian mas Parman membuatku limbung deperti anak ayam kehilangan indukknya, keadaan keluargaku kacau balau. Sepeninggal suamiku aku yang mengurus semua pekerjaannya, selama ini aku tidak pernah ambil bagian dalam urusan ini, aku sama sekali tidak tau menahu bagaimana harus melakukannya. Tapi semua usahaku untuk mengurus peninggalan suamiku hancur, semua pekerja menghilang, aku tidak tahu apa sebab jelasnya, mungkin memang aku tidak pandai mengurus pekerjaan karena yang kutahu selama ini hanyalah bagaimana merias diri dan menghamburkan uang.

Bingung karena sudah tidak banyak lagi kekayaan mas Parman yang tersisa akupun menjual semua sawah yang kami miliki agar aku bisa terus bersenang-senag dengan uang. Aku tak ambil pusing dengan Yudi, Huda, Rohmah, dan Rukha, meski aku ibunya aku tak seberapa kenal dengan mereka selama ini mereka lebih dekat dengan bu leknya atau adik-adikku. Biar Yudi menjadi anak badung sekalipun bahkan sampai dikeluarkan dari sekolahnya aku tak perduli, yang penting bagiku bersenang-senang dan menghamburkan uang. Sampai pada suatu saat aku bertemu dengan mas Seno seorang lelaki yang dapat memikat hatiku kembali. Dia mengaku adalah seorang komandan ABRI, waktu itu tenatara sangat dihormati hingga aku sangat tersanjung. Tak beberapa lama kamipun menikah.

Malang kepalang aku ini, ternyata aku hanya dibohongi oleh mas Seno. Ia bukanlah anggota ABRI, ia hanya tentara gadungan… lebih dari itu dia juga buronan polisi atas kasus pencurian. Selama ini aku kenal mas Seno sebagai seorang yang baik-baik, ia mengatakan kepadaku sedang ditugaskan di desaku, aku percaya saja dan sudah menggantungkan diriku kepadanya. Walaupun aku marah sekali dengan mas Seno aku tidak bisa berbuat apapun karena ku sudah menyerahkan diri sepenuhnya kepadanya. Benar-benar keputus asaan yang kumiliki waktu itu, aku rela kemanapun dan melakukan apapun demi mas Seno, karena aku sudah kalap dan gelap hatiku.

Sebulan setelah pernikahan kami desas desus kebohongan suami ke duaku ini sudah mulai terdengar. Merasa terancam dengan keadaan seperti mas Seno mengajakku untuk pindah ke luar pulau, saat itu di desa tetangga kami sedang ada pendaftaran imigrasi ke kalimantan. Akhirnya kami pun mendaftar dan pindah ke Kalimantan selatan daerah pedalaman, jauh dari kota. Mengetahui rencana seperti itu adik-adikku sangat tidak senang sekali, ia tidak tega membiarkan ke 4 anakku ikut pindah denganku. Aku tidak menghiraukan mereka sama sekali, biar mereka mau menahan anak-anakku disini aku tak perduli, dan itu bagus malahan… aku tidak perlu repot-repot lagi mendengan racauan anak-anak nakal itu. Aku lebih memilih hidup dengan mas Seno dari pada harus ribut mengasuh mereka.

Di kalimantan kehidupan kami tidak semakin baik, kami disana hanya diberi rumah dan lahan untuk memenuhi kehidupan. Tidak seperti mas Parman yang ulet mas Seno adalah lelaki pemalas ia juga tidak pandai mengurus lahannya sendiri hingga kami hanya bekerja menjadi buruh kebun saja selama berpuluh-puluh tahun disana. Setelah jauh dirantau aku jadi sering teringat dengan anak-anakku di jawa. Sudah jadi apakah Yudi dan Huda, sudah menikahkah Rohmah dan Rukha, sesak sekali dadaku ini mengingat mereka. Kehidupan di kalimantan serba susah dan sebuah janji mas Seno hanya bualan. Aku menyesal dan kecewa.

Kadangkala aku mengirim sepucuk surat ke Yudi, anak pertamaku. Sekedar bertukar kabar dan kesusahan kami, selama ini Yudi tidak pernah membalas surat dari ku, ia hanya mengirim wessel berisi sejumlah uang kepadaku. Aku sadar aku tak pantas mengadu kepada mereka, anak-anakku yang telah kusakiti. Suatu hari aku juga berkirim surat kepada Sari dan Tri untuk meminta maaf, dari itu aku baru sadar kenapa mereka begitu menyayangi putra-putriku. Saat mas Parman masih hidup secara diam-diam ia sering membatu keluarga Sri dan Tri, maka dri itu adik-adikku merasa berhutang budi pada mas Parman hingga mereka begitu menyayangi anakku.

bersambung....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar