Rabu, 25 Juli 2012

Karena Aku Seorang "Emak"


Layaknya hutan yang tak bertuan, sepi sendiri di tengah hingar bingar meganhnya dunia. Hanya lemah raga yang menemani dengan penyesalan tiada henti, aduan airmata yang semakin deras saja setiap hari, penuh duka, amarah, kecewa dan sesal, tidak kepada siapapun di sampingku, tapi amarah yang menyesakkakn hati atas diri yang rentah dan hina, berkubang dosa, salah, semu hanyalah bayangan dunia yang membutakan pandangan di masa lalu. Masa lalu yang telah menjadi luka bagi hati-hati yang tak berdosa, bagi raga-raga yang masih lugu, meninggalkan dendam, benci dan kekecewaan

Kamar ini, sepercik air oase bagi padang prahara di hatiku. Memang bukanlah ruangan yang indah dengan ornamen mewah, hanya sebuah bilik kecil. Bilik yang disekat dengan dinding papan kayu seadanya dengan jendela kecil dekat langit-langit. Tapi ini semua adalah isyarat, tanda sayang dan cinta dari putra sulung ku. Anakku yang telah lama ku tinggalkan dan ku abaikan tanpa cinta, kasih serta belaian sayangku. Aku mendurhaki mereka. Aku menyakiti mereka, aku.. aku.. hanya salah padaku atas mereka selama ini.

Aku hanyalah seorang emak yang berkhianat pada kodrat sebagai wanita. Berpuluh puluh tahun yang lalu aku adalah wanita tercantik di desaku, semua mata akan tunduk syahdu memandang eloknya parasku, lelaki manapun pasti tergila-gila dengan rupaku, layaknya bidadari sanjungan dari mereka. Hingga seorang pemuda kaya raya berhasil mempersuntingku sebagai belahan jiwanya. Mas Parman, Suamiku adalah juragan tanah yang makmur, sawahnya terhampar luas di desa itu, hasil panennya terbaik diantara semua petani saat itu, tak heran kalau hidupku serba makmur dan berkucupan. Tiada hal yang mustahil kumiliki, seakan jadi perempuan paling beruntung didunia. Meski hidup di desa, aku bahagia, bersuka atas semua hal yang dipenuhi suamiku dan atas segala penghormatan penduduk desa kepadaku sebagai wanita terhormat dan kaya raya

Hidup dengan kesempurnaan adalah hari-hariku, harta yang berlimpah, kehormatan yang tinggi dan suami yang selalu mencintaiku. Dia sangat memujaku, atas kecantikannku yang luar biasa menurutnya, lebih lebih aku telah bisa menghadiahinya anak-anak dambaannya. 5 tahun menikah kami sudah memilki 3 anak, 2 laki-laki dan seorang perempuan, Yudi, Huda, dan Rohmah. Suamiku sangat menyangi mereka dan selalu mencintaiku sehingga ia sama sekli tidak menginginkanku melelahkan diri untuk mengurus anak-anak kami. Batur- baturpun dibayar oleh mas Parman untuk mengurus gundik-gundik yang kulahirkan, sedangkan aku hanyalah ia minta untuk menikmati apa yang berikan kepadaku dan mempercantik diri untukku.

Hidup dalam kemakmuran dan berkecukupan membuatku menjadi sosok yang lupa segalanya. Duaniapun seakan sudah ada di genggamannku, aku tidak perduli dengan apapun tetek bengek di sekitarku, memperindah diri sendiri adalah hal yang terpenting bagiku. Mas parman memboyongku dari orangtuaku sejak kami menikah, sehingga aku sudah jarang sekali bertemu dengan ke dua saudaraku, Sari dan Tri. Mungkin karena harta yang membutakan hatiku, aku sudah berubah menjadi perempuan sombong dan acuh. Pernah suatu hari Sari datang ke rumahku untuk meminta bantuan, ia mengatakan padaku kalau anaknya sedang sakit keras dan di butuh biaya besar untuk pengobatan anakknya. Entah apa yang kupikirkan waktu itu sehingga aku menolak mentah-mentah kedatangannya yang seperti pengemis, bajunya kotor, lusuh dengan rupanya sudah persis gelandangan, memang waktu itu suaminya hanyalah seorang buruh angkut di pasar, sehari-hari keluarga mereka hidup serba kekurangan, apalagi ditambah dengan anaknya yang sednag sakit parah, semakin terpuruk saja keadaan adikku ini. Tapi itu semua sama sekali tidak membuat hatiku tersentuh untuk membantunya. Aku malu punya saudara seperti dia.

Aku tak bisa membayangkan bagaimana sakit hatinya Sari saat itu, tidak dengan membantunya, aku malah mengusirnya. Aku marah padanya, salah sendiri kenapa dia mau menikah dengan orang miskin seperti suaminya itu yang hanya bisa memberikannya penderitaan sekarang saat dia kesulitan aku juga yang direpoti. Aku merasa Sari terlalu bodoh dan aku tak peduli lagi dengan urusannya sekalipun ia meronta-ronta memohon kepada ku tidak ada rasa kasihan di hatiku. Esoknya Sari datang lagi dengan diantar Tri, dan aku tetap beku. Kuusir mereka dan kuminta orang suruhan suamiku untuk menyeret mereka keluar rumahku.

”bagai batu yang tak berhati dirimu mbak, aku tidak akan mengemis padamu lagi. Aku kira sampeyan masih dulurku!!!, sesambung darah dari rahim…., tapi kalau memang ati wis malih rupa, batupun tidak sekeras hatimu…. ” kata-kata itulah yang sampai sekarang benar-benar lekat di benakku sebagai sesal di kemudian hari.

Mas parman tidak pernah marah kepadaku, dia hanya bertutur kalem agar aku besikap baik kepada saudara-saudaraku, tapi aku tetap segala-galanya bagi mas parman sehingga dia tidak akan pernah menggugat buruknya perangaiku. Lebih-lebih setalah aku melahirkan Rukha, anak keempatku. Bertambahlah suka cita dan cinta suamiku kepadaku. Aku telah memberinnya dua anak lelaki dan dua anak perempuan yang didambanya selama ini. Betapa ia merasa sempurna memandangku sehingga kesalahan kesalahanku sudah tak tampak lagi baginya meski ada di pelupuk matanya, yakni tergantikanya kasih sayangku kepada buah hati kami dengan harta dan kekayaan yang kupuja dengan sepenuh jiwa raga.

Yudi, Huda, Rohmah, dan Rukha secara badaniah adalah anak-anakku, darah dagingku dan mas Parman, akan tetapi nyatanya, sehari-hari merekalah putra-putri batur-batur yang kubayar untuk mengasuh mereka. Mereka memanggilku emak, hanya suatu panggilan tentunnya, ada di bibir saja namun tak secuil hati mereka menyebutku benar-bener sebagai seorang emak. Salahku sendiri memang, aku sangat jarang memberi perhatian kepada mereka, hanya uang yang berlimpah kutitipkan pada batur-batur untuk memenuhi segala permintaan anak-anakku. Aku tak sadar kalo itu semua masih jauh dari cukup. Mereka tidaklah bahagia, hati mereka kering dan akhirnya menjdi keras tanpa sentuhan kasih sayangku sebagai emak yang telah melahirkan mereka.

Yudi dan Huda tumbuh menjadi anak yang menyusahkan sekali, berkali-kali mereka berulah disekolah, dihukum gurunya bahkan hingga dikeluarkan. Suamiku sangat marah, sedikit berbeda dengan diriku yang acuh, mas Parman masih memperhatikan anak-anak kami, ia mendidik mereka dengan keras, melatih mental mereka dengan tangannya sendiri, tak heran jika Yudi dan Huda lebih hormat kepada bapaknya. Rohmah dan Rukha sangat menurut pada orang tuanya, meski mereka anak perempuan perhatianku kepada mereka tidak lebih dari perhatianku kepada batur-batur, kasar dan keras. Mungkin tidak salah bagi mereka berempat kalau tidak ada sosok seorang ibu di hati mereka……

bersambung ke bagian dua..
(banyu pertiwi, 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar