Layaknya
hutan yang tak bertuan, sepi sendiri di tengah hingar bingar meganhnya dunia.
Hanya lemah raga yang menemani dengan penyesalan tiada henti, aduan airmata
yang semakin deras saja setiap hari, penuh duka, amarah, kecewa dan sesal,
tidak kepada siapapun di sampingku, tapi amarah yang menyesakkakn hati atas
diri yang rentah dan hina, berkubang dosa, salah, semu hanyalah bayangan dunia
yang membutakan pandangan di masa lalu. Masa lalu yang telah menjadi luka bagi
hati-hati yang tak berdosa, bagi raga-raga yang masih lugu, meninggalkan
dendam, benci dan kekecewaan
Kamar
ini, sepercik air oase bagi padang prahara di hatiku. Memang bukanlah ruangan
yang indah dengan ornamen mewah, hanya sebuah bilik kecil. Bilik yang disekat
dengan dinding papan kayu seadanya dengan jendela kecil dekat langit-langit.
Tapi ini semua adalah isyarat, tanda sayang dan cinta dari putra sulung ku.
Anakku yang telah lama ku tinggalkan dan ku abaikan tanpa cinta, kasih serta
belaian sayangku. Aku mendurhaki mereka. Aku menyakiti mereka, aku.. aku..
hanya salah padaku atas mereka selama ini.
Aku
hanyalah seorang emak yang berkhianat pada kodrat sebagai wanita. Berpuluh
puluh tahun yang lalu aku adalah wanita tercantik di desaku, semua mata akan
tunduk syahdu memandang eloknya parasku, lelaki manapun pasti tergila-gila
dengan rupaku, layaknya bidadari sanjungan dari mereka. Hingga seorang pemuda
kaya raya berhasil mempersuntingku sebagai belahan jiwanya. Mas Parman, Suamiku
adalah juragan tanah yang makmur, sawahnya terhampar luas di desa itu, hasil
panennya terbaik diantara semua petani saat itu, tak heran kalau hidupku serba
makmur dan berkucupan. Tiada hal yang mustahil kumiliki, seakan jadi perempuan
paling beruntung didunia. Meski hidup di desa, aku bahagia, bersuka atas semua
hal yang dipenuhi suamiku dan atas segala penghormatan penduduk desa kepadaku
sebagai wanita terhormat dan kaya raya
Hidup
dengan kesempurnaan adalah hari-hariku, harta yang berlimpah, kehormatan yang
tinggi dan suami yang selalu mencintaiku. Dia sangat memujaku, atas
kecantikannku yang luar biasa menurutnya, lebih lebih aku telah bisa
menghadiahinya anak-anak dambaannya. 5 tahun menikah kami sudah memilki 3 anak,
2 laki-laki dan seorang perempuan, Yudi, Huda, dan Rohmah. Suamiku sangat
menyangi mereka dan selalu mencintaiku sehingga ia sama sekli tidak
menginginkanku melelahkan diri untuk mengurus anak-anak kami. Batur- baturpun
dibayar oleh mas Parman untuk mengurus gundik-gundik yang kulahirkan, sedangkan
aku hanyalah ia minta untuk menikmati apa yang berikan kepadaku dan
mempercantik diri untukku.
Hidup
dalam kemakmuran dan berkecukupan membuatku menjadi sosok yang lupa segalanya.
Duaniapun seakan sudah ada di genggamannku, aku tidak perduli dengan apapun
tetek bengek di sekitarku, memperindah diri sendiri adalah hal yang terpenting
bagiku. Mas parman memboyongku dari orangtuaku sejak kami menikah, sehingga aku
sudah jarang sekali bertemu dengan ke dua saudaraku, Sari dan Tri. Mungkin
karena harta yang membutakan hatiku, aku sudah berubah menjadi perempuan
sombong dan acuh. Pernah suatu hari Sari datang ke rumahku untuk meminta
bantuan, ia mengatakan padaku kalau anaknya sedang sakit keras dan di butuh
biaya besar untuk pengobatan anakknya. Entah apa yang kupikirkan waktu itu
sehingga aku menolak mentah-mentah kedatangannya yang seperti pengemis, bajunya
kotor, lusuh dengan rupanya sudah persis gelandangan, memang waktu itu suaminya
hanyalah seorang buruh angkut di pasar, sehari-hari keluarga mereka hidup serba
kekurangan, apalagi ditambah dengan anaknya yang sednag sakit parah, semakin
terpuruk saja keadaan adikku ini. Tapi itu semua sama sekali tidak membuat
hatiku tersentuh untuk membantunya. Aku malu punya saudara seperti dia.
Aku
tak bisa membayangkan bagaimana sakit hatinya Sari saat itu, tidak dengan
membantunya, aku malah mengusirnya. Aku marah padanya, salah sendiri kenapa dia
mau menikah dengan orang miskin seperti suaminya itu yang hanya bisa
memberikannya penderitaan sekarang saat dia kesulitan aku juga yang direpoti.
Aku merasa Sari terlalu bodoh dan aku tak peduli lagi dengan urusannya
sekalipun ia meronta-ronta memohon kepada ku tidak ada rasa kasihan di hatiku.
Esoknya Sari datang lagi dengan diantar Tri, dan aku tetap beku. Kuusir mereka
dan kuminta orang suruhan suamiku untuk menyeret mereka keluar rumahku.
”bagai
batu yang tak berhati dirimu mbak, aku tidak akan mengemis padamu lagi. Aku
kira sampeyan masih dulurku!!!, sesambung darah dari rahim…., tapi kalau memang
ati wis malih rupa, batupun tidak sekeras hatimu…. ” kata-kata itulah yang
sampai sekarang benar-benar lekat di benakku sebagai sesal di kemudian hari.
Mas
parman tidak pernah marah kepadaku, dia hanya bertutur kalem agar aku besikap
baik kepada saudara-saudaraku, tapi aku tetap segala-galanya bagi mas parman
sehingga dia tidak akan pernah menggugat buruknya perangaiku. Lebih-lebih
setalah aku melahirkan Rukha, anak keempatku. Bertambahlah suka cita dan cinta
suamiku kepadaku. Aku telah memberinnya dua anak lelaki dan dua anak perempuan
yang didambanya selama ini. Betapa ia merasa sempurna memandangku sehingga
kesalahan kesalahanku sudah tak tampak lagi baginya meski ada di pelupuk
matanya, yakni tergantikanya kasih sayangku kepada buah hati kami dengan harta
dan kekayaan yang kupuja dengan sepenuh jiwa raga.
Yudi,
Huda, Rohmah, dan Rukha secara badaniah adalah anak-anakku, darah dagingku dan
mas Parman, akan tetapi nyatanya, sehari-hari merekalah putra-putri batur-batur
yang kubayar untuk mengasuh mereka. Mereka memanggilku emak, hanya suatu
panggilan tentunnya, ada di bibir saja namun tak secuil hati mereka menyebutku
benar-bener sebagai seorang emak. Salahku sendiri memang, aku sangat jarang
memberi perhatian kepada mereka, hanya uang yang berlimpah kutitipkan pada
batur-batur untuk memenuhi segala permintaan anak-anakku. Aku tak sadar kalo
itu semua masih jauh dari cukup. Mereka tidaklah bahagia, hati mereka kering
dan akhirnya menjdi keras tanpa sentuhan kasih sayangku sebagai emak yang telah
melahirkan mereka.
Yudi dan Huda tumbuh menjadi anak yang menyusahkan
sekali, berkali-kali mereka berulah disekolah, dihukum gurunya bahkan hingga
dikeluarkan. Suamiku sangat marah, sedikit berbeda dengan diriku yang acuh, mas
Parman masih memperhatikan anak-anak kami, ia mendidik mereka dengan keras,
melatih mental mereka dengan tangannya sendiri, tak heran jika Yudi dan Huda
lebih hormat kepada bapaknya. Rohmah dan Rukha sangat menurut pada orang
tuanya, meski mereka anak perempuan perhatianku kepada mereka tidak lebih dari
perhatianku kepada batur-batur, kasar dan keras. Mungkin tidak salah bagi
mereka berempat kalau tidak ada sosok seorang ibu di hati mereka……
bersambung ke bagian dua..
(banyu pertiwi, 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar