Sudah
belasan tahun kami menikah, bahkan Yudi sudah akan lulus SMP. Hidupku terasa
selalu indah dengan kekayaan suamiku, hingga pada suatu saat mas Parman mulai
sakit dan semakin hari semakin parah saja sakitnya. Sejak kecil mas Parman
biasa hidup soro dan ngonyo dan disinilah mulai terasa lelahnya setalah sekian
lama bekerja keras. Yudi dan Huda harus mengganti pekerjaan baapaknya nguusi
hasil sawah, tapi tetap saja suamiku ikut mengawasi sambil mendidik mereka
karena ia berharap agar suatu saat anakknya bisa mandiri kelak.
Hari
berganti, bulan berlalu cepat. Sudah 2 tahun sakit mas Parman tak kunjung
sembuh, dadanya sesak dan sering nyeri, dua bualan ini ia hanya bisa tergolek
lemah di kamar. Segala pekerjaannya terbengkalai tidak ada yang mengatur bahkan
beberapa petak sawah kami harus dijual untuk membiayai pengobatan suamiku.
Secara umum ia masih muda, baru 40 tahunan, tapi karena sakitnya yang
takkunjung sembuhnya ia tampak sangat tua dan lemah sekali. Karena badannya
yang sudah tidak kuat lagi untuk mengurusi kerjanya, keadaan perekonomian
keluarga kami pun kacau balau, belum lagi untuk mengobatan mas Parman sendiri
yang tidak ada habisnya.
Takdir
betul milik Tuhan. Tak lama setelah kondisi suamiku sangat lemah dan sering
tidak sadarkan diri, Mas Parman pun menghembuskan nafas terkhir. Meninggalkan
kami semua, aku dan anak-anakku tanpa pesan sama sekali. Aku hanya bisa
meratap, membayangkan hidupku selajutnya yang sangat menghantuiku. Siapa lagi
yang akan menanggung hidupkku dan anak-anaku… entahlah, aku sangat terpuruk
sekali waktu itu. Begitu pula dengan anak-anakku yang benar-benar harus
kehilangan satu-satunya sosok orang tua mereka yakni, suamiku tercinta.
Kepergian
mas Parman membuatku limbung deperti anak ayam kehilangan indukknya, keadaan
keluargaku kacau balau. Sepeninggal suamiku aku yang mengurus semua
pekerjaannya, selama ini aku tidak pernah ambil bagian dalam urusan ini, aku
sama sekali tidak tau menahu bagaimana harus melakukannya. Tapi semua usahaku
untuk mengurus peninggalan suamiku hancur, semua pekerja menghilang, aku tidak
tahu apa sebab jelasnya, mungkin memang aku tidak pandai mengurus pekerjaan
karena yang kutahu selama ini hanyalah bagaimana merias diri dan menghamburkan
uang.
Bingung
karena sudah tidak banyak lagi kekayaan mas Parman yang tersisa akupun menjual
semua sawah yang kami miliki agar aku bisa terus bersenang-senag dengan uang.
Aku tak ambil pusing dengan Yudi, Huda, Rohmah, dan Rukha, meski aku ibunya aku
tak seberapa kenal dengan mereka selama ini mereka lebih dekat dengan bu leknya
atau adik-adikku. Biar Yudi menjadi anak badung sekalipun bahkan sampai
dikeluarkan dari sekolahnya aku tak perduli, yang penting bagiku
bersenang-senang dan menghamburkan uang. Sampai pada suatu saat aku bertemu
dengan mas Seno seorang lelaki yang dapat memikat hatiku kembali. Dia mengaku
adalah seorang komandan ABRI, waktu itu tenatara sangat dihormati hingga aku
sangat tersanjung. Tak beberapa lama kamipun menikah.
Malang
kepalang aku ini, ternyata aku hanya dibohongi oleh mas Seno. Ia bukanlah
anggota ABRI, ia hanya tentara gadungan… lebih dari itu dia juga buronan polisi
atas kasus pencurian. Selama ini aku kenal mas Seno sebagai seorang yang
baik-baik, ia mengatakan kepadaku sedang ditugaskan di desaku, aku percaya saja
dan sudah menggantungkan diriku kepadanya. Walaupun aku marah sekali dengan mas
Seno aku tidak bisa berbuat apapun karena ku sudah menyerahkan diri sepenuhnya
kepadanya. Benar-benar keputus asaan yang kumiliki waktu itu, aku rela
kemanapun dan melakukan apapun demi mas Seno, karena aku sudah kalap dan gelap
hatiku.
Sebulan
setelah pernikahan kami desas desus kebohongan suami ke duaku ini sudah mulai
terdengar. Merasa terancam dengan keadaan seperti mas Seno mengajakku untuk
pindah ke luar pulau, saat itu di desa tetangga kami sedang ada pendaftaran
imigrasi ke kalimantan. Akhirnya kami pun mendaftar dan pindah ke Kalimantan
selatan daerah pedalaman, jauh dari kota. Mengetahui rencana seperti itu
adik-adikku sangat tidak senang sekali, ia tidak tega membiarkan ke 4 anakku
ikut pindah denganku. Aku tidak menghiraukan mereka sama sekali, biar mereka
mau menahan anak-anakku disini aku tak perduli, dan itu bagus malahan… aku
tidak perlu repot-repot lagi mendengan racauan anak-anak nakal itu. Aku lebih
memilih hidup dengan mas Seno dari pada harus ribut mengasuh mereka.
Di
kalimantan kehidupan kami tidak semakin baik, kami disana hanya diberi rumah
dan lahan untuk memenuhi kehidupan. Tidak seperti mas Parman yang ulet mas Seno
adalah lelaki pemalas ia juga tidak pandai mengurus lahannya sendiri hingga
kami hanya bekerja menjadi buruh kebun saja selama berpuluh-puluh tahun disana.
Setelah jauh dirantau aku jadi sering teringat dengan anak-anakku di jawa.
Sudah jadi apakah Yudi dan Huda, sudah menikahkah Rohmah dan Rukha, sesak
sekali dadaku ini mengingat mereka. Kehidupan di kalimantan serba susah dan
sebuah janji mas Seno hanya bualan. Aku menyesal dan kecewa.
Kadangkala aku mengirim sepucuk surat ke Yudi, anak
pertamaku. Sekedar bertukar kabar dan kesusahan kami, selama ini Yudi tidak
pernah membalas surat dari ku, ia hanya mengirim wessel berisi sejumlah uang
kepadaku. Aku sadar aku tak pantas mengadu kepada mereka, anak-anakku yang
telah kusakiti. Suatu hari aku juga berkirim surat kepada Sari dan Tri untuk
meminta maaf, dari itu aku baru sadar kenapa mereka begitu menyayangi
putra-putriku. Saat mas Parman masih hidup secara diam-diam ia sering membatu
keluarga Sri dan Tri, maka dri itu adik-adikku merasa berhutang budi pada mas
Parman hingga mereka begitu menyayangi anakku.
bersambung....