Banyu Pertiwi
Semoga menjadi setetes embun pagi.. berkiprah bersama sang Mentari..
Senin, 26 Agustus 2013
Sabtu, 11 Agustus 2012
Karena Aku Seorang "Emak" (bagian akhir)
Semakin
bertambah usiaku dengan hari-hari yang berlalu penuh penyesalan dan air mata.
Udara dihatiku menjadi badai yang menyeruak mambuat aku terus mearasakan
kesedihan diri atas anak-anakku. Terakhir ku dengan semua anakku sudah menikah
dan Rukha baru melangsungkannya sebulan yang lalu.
Sesak rasanya hatiku sebagai
emak mereka. Tak satupun dari pernikahan mereka ku saksikan, bukan karena aku
tak mau, tapi karena aku sangat malu dan sudah tak punya muka dihadapan
maereka. Aku hanya bisa berdoa dari sini, agar mereka selalu diberi kebahagian
dan agar aku diampuni, ampun untuk dosa yang tak terbendung karena telah
mendurhakai putra-putriku.
Aku
sudah tak muda lagi, sekarang umurku hampir 70 tahun. Badan ini rasanya sudah
aus dimakan zaman, lemah dan sakit-sakitan. Begitu halnya dengan mas Seno, tapi
dia lebih kuat dari pada aku. Di usianya yang lebih dari 70 tahun dia masih
sehat dan jarang sakit, dia pula yang selalu mengurusku yang sudah tua retah
dan sakit-sakitan. Sakitku bukan dibadan saja, rasa sesal di hati ini yang
lebih menyakitkan hingga tubuh juga ikut ambruk tak berdaya. Yang kuingat
selalu adalah putra-putriku, aku ingin sekali bertemu mereka sebelum aku mati.
Aku tidak ingin mati menjadi bangkai penuh dosa… aku ingin sekali memeluk
mereka, meskipun maaf baru kudapatkan dengan mencium kaki mereka. Aku rela demi
ampunan anak-anak terhadap emaknya yang takberdaya ini.
Hati
terus bersambung darah tak henti beralir, Yudi anak sulungku datang ke
kalimantan bersama istrinya. Aku sangat pangling sekali dengannya. Anakku yang
kutinggal saat masih remaja kini telah menjadi seorang bapak. Dia melihatku tak
berdaya dipembaringan, lemah, sakit, dan tua sekali. Aku hanya dapat menangis
bila memandang wajahnya, aku teringat berpuluh-puluh tahun silam, aku telah
menelantarkannya dan tidak memberikan dia kasih sayang. Dia datang untuk
menjemputku, membawa aku kembali pulang ke jawa. Yudi dan istrinya merawatku
selama seminggu di rumahku, hingga aku mengiyakan untuk ikut dia kembali ke
jawa, aku rindu Huda, Rohmah, dan Rukha. Memang aku sudah lupa rupa mereka tapi
aku masih ingat telah melahirkan mereka dan aku adalah emaknya meski hanya emak
tak tahu diri.
Mas
Seno tidak ikut kembali ke jawa karena dia masih mempunyai kewajiban di desa
imigrasi itu sebagai abdi kelurahan di perkebunan. Akhirnya hanya aku yang ikut
bersama Yudi dan Sani, menantuku. Aku sudah ingin bertemu anak-anakku yang
lainnya hanya untuk meminta maaf. Memohon ikhlasnya hati mereka atas segala
salahku di masa laluku, masa dimana aku seharusnya memberi kebahagiaan pada
putra-putriku bukan mengukuir luka yang meradang seperti saat ini.
Sampai
di rumah Yudi aku aku disambut anak-anak Yudi yang sangat baik sekali kepadaku.
Yudi bukanlah orang kaya, ia hidup sederhana dengan keluarganya, tapi ia sangat
menyangi anak-anaknya, hingga rumah kecil dan bersahaja ini menjadi selalu
hangat dengan kebahagiaan. Lain dengan mendiang bapaknya dulu yang kaya raya
karena keuletannya menjaga warisan keluarga, sosok putra sulungku ini sangatlah
bersahaja. Ia hidup dengan keringatnya sendiri, jerih payahnya selama ini untuk
kebahagiaan keluarganya. Melihat kenyataan ini hatiku ngilu sekali, mengingat
dulu mas Parman adalah tuan tanah yang dihormati, sedang anakku tidak
mendapatkan apapun dari dirinya karena aku, karena khilaf yang membutakan
mataku untuk menghabiskan seluruh kekayaan mendiang suami pertamaku demi
menikmati kesenangan dunia yang semu.
Sembilu
berdarah merajam qalbu, menusuk dalam ke uluh hati. Sakit, perih dan panas.
Seakan bara api keabadian tak kunjung padam, kekal dibawa mati. Anak-anakku
juga berhati, merasa disakuti dan dikhianati oleh ibundanya sendiri. Setelah
sekian lama ternyata luka itu tak lekas mengering, jangankan terangin angin…
perih tersiram garam rasanya dengan kedatanganku lagi dihadapan mereka.
Sehari
setelah kedatanganku di rumah Yudi, ketiga anakku lainnya datang menengokku.
Huda dan Rohmah datang di sore harinya dengan istri dan suami mereka, sedangkan
Rukha baru tiba di rumah Yudi selepas Maghrib. Putra-putriku bukan anak kecil
lagi, mereka telah menjadi manusia dewasa yang tentunya mengetahui tentang
konsekuensi kehidupan ini.
Lama
mereka menatapku tanpa kata setelah mencium tanganku dengan airmata, airmata
yang aku yakin bukan hanya airmata kebahagiaan namun merupakan luapan emosi
kepadaku selama ini antara senang, kecewa, sedih dan trauma akan masa-masa yang
denganku berupa ukiran pahit dariku.
Bayang-bayang
masa lalu kembali menyapaku, menuntut keadilan…. meminta pertaanggung jawaban
dan menyeretku dalam kedukaan yang melukai hatiku dengan belati beracun yang
kupegang sendiri. Sesak dada ini, bahkan paru-parupun seakan tak mau menerima
udara lagi untukku. Ku iklhaskan jiwa dan raga atau apa pun yang tersisa pada tubuh
yang tua ini sebagai bayaran maaf dari darah dagingku…
”Mak,
malang dirundung sengsara… hati ini beku jauh dari kasih sayangmu……., kami
memang anakmu Mak, tapi pernahkah kau menjadi ibu kami selama ini….. siapa yang
membelai kami disaat menangis, siapa yang merawat kami saat sakit…. bukan
emakkan…!!!!! bulek Tri dan Bulek Sari yang memeluk kami dalam suka duka kami,
bahkan saat kami kelaparan dan bapak kesakitan…. emak kah yang menyuapkan kasih
sayang pada kami??????????????!!!!!!! Tidak Mak!!! Emak tidak pernah mengenal
kami, karena kami hanyalah tumbal untuk mengganti kekayaan bapak yang emak
Tuhankan”
”Maafkan
emak Rohmah….. emak salah”
”tidak
mak!!! Semua ini tak berarti” luka di hati Rohmah membara menyakitkan
”sudah
mbakyu…. beliau emak kita..” pelukan Rukha menghambur ke mbakyunya yang tak
kuasa menahan gejolak di hatinya….
”maaf
kan emak nak….” hanya kata itu yang mampu ku ucapkan….. aku sudah takpantas
mengucapkan apapun didepan anak-anak ku, bibir rasanya kelu…. suara pun hilang,
berat memohon ampun diri.
Kamar
ini saksi kehidupanku, saksi sebuah sidang dunia atas nestapa dan salah kepada
para penghuni rahim yang menghujatku, Tuhan adalah seagungnya hakim… sedangkan
aku hanyalah terdakwa yang tak berdaya… tanpa kebenaran… tanpa pembelaan…. yang
kuharapkan hanyalah pelukan ikhlas dari hati para penghujatku sehingga Hakim
dapat kembali tersenyum kepadaku dan rela menaungiku kelak…
Huda
tetap diam dalam kekecewaan padaku… tak sepatah katapun ia ucapkan, hanyalah
tatapan pilu yang melelehkan perasaanku…..
”Rohmah!
Sudahlah…” Yudi memeluk adik-adiknya, kemudian dia membelaiku dan mencium
keningku…. kurasakan hangatnya hati anak sulungku ini, hati yang penuh kasih
sayang kepadaku.
”Maaf
kan emak Nak…, emak salah, emak durhaka,.. emak berdosa…. balaslah emak nak…..
pukul nak… pukul saja emak ini… emak rela mati asalkan kalian semua memaafkan
emak” aku tak tahu harus mengatakan apalagi….
”Sampun
Mak….. Cukup, kami anak-anakmu… kami berhutang nyawa padamu mak…. tidaklah
pantas kami mendendam padamu Mak” Yudi mencium tanganku dengan airmata yang
semakin menyesakkan saja.
”Rohmah,
Rukha, Huda… adikku…., cukup!!! Tidak pantas kalian terus memojokkan Emak….
hilangkan dendam kalian… tahanlah emosi kalian…. coba lihat diri kita
sendiri..!!!! memangnya apa yang telah berikan kepada Emak… nggak ada kan…
sedangkan hidup kita bila bisa digadaikan takkan sanggup mengganti peluh yang
menetes dari raga Emak saat kelahiran kita…!!!!”
kata-kata
Yudi dingin sekali menyentuh hatiku….. bara ini serasa padam dari api abadi
penyesalan hidupku selama ini. Lega rasanya…. tangan-tangan anakku kembali
menghangatkan rongga keputusasahan yang membeku selama ini. Yudi, Huda, Rohmah,
Rukha.. tak kuasa menahan tangis mereka, memelukku, menciumku….. hangat
rasannya….. aku bahagia sekali…. aku baru merasakan terlahir didunia ini
sebagai seorang ibu, meskipun terlambat… aku sangat-sangat bahagia… kebahagian
yang sudah sangat lama kulupakan dan kuragukan keberadaannya, namun sekarang
kudapat merasakannya….. terima kasih Tuhan….
Diriku
tak membeku lagi.. rasa ku membara…. hatiku ringan… aku baru terlahir kembali,
kurasakan dunia ini terang benderang….. semua indah terlihat… oh Tuhan, sungguh
nikmat kurasakan…..
lambat
laun suara anakku terasa jauh, sentuhan hangat mereka sudah tak dapat
kurasakan…. tapi hangatnya hati mereka yang penuh kasih sayang kekal di
hatiku…. kulihat mas Parman, suamiku tampak sangat tampan sekali, dia tersenyum
dan aku ingin berlari memeluknya…………
”EMAK…!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!”
indah dan bahagia yang kurasakan…..
”TIDAK!!!!, EMAK!!!!!………………..”
——— TAMAT ————
Surabaya, 2010 - banyu pertiwi
Selasa, 31 Juli 2012
Karena Aku Seorang "Emak" (bagian 2)
Sudah
belasan tahun kami menikah, bahkan Yudi sudah akan lulus SMP. Hidupku terasa
selalu indah dengan kekayaan suamiku, hingga pada suatu saat mas Parman mulai
sakit dan semakin hari semakin parah saja sakitnya. Sejak kecil mas Parman
biasa hidup soro dan ngonyo dan disinilah mulai terasa lelahnya setalah sekian
lama bekerja keras. Yudi dan Huda harus mengganti pekerjaan baapaknya nguusi
hasil sawah, tapi tetap saja suamiku ikut mengawasi sambil mendidik mereka
karena ia berharap agar suatu saat anakknya bisa mandiri kelak.
Hari
berganti, bulan berlalu cepat. Sudah 2 tahun sakit mas Parman tak kunjung
sembuh, dadanya sesak dan sering nyeri, dua bualan ini ia hanya bisa tergolek
lemah di kamar. Segala pekerjaannya terbengkalai tidak ada yang mengatur bahkan
beberapa petak sawah kami harus dijual untuk membiayai pengobatan suamiku.
Secara umum ia masih muda, baru 40 tahunan, tapi karena sakitnya yang
takkunjung sembuhnya ia tampak sangat tua dan lemah sekali. Karena badannya
yang sudah tidak kuat lagi untuk mengurusi kerjanya, keadaan perekonomian
keluarga kami pun kacau balau, belum lagi untuk mengobatan mas Parman sendiri
yang tidak ada habisnya.
Takdir
betul milik Tuhan. Tak lama setelah kondisi suamiku sangat lemah dan sering
tidak sadarkan diri, Mas Parman pun menghembuskan nafas terkhir. Meninggalkan
kami semua, aku dan anak-anakku tanpa pesan sama sekali. Aku hanya bisa
meratap, membayangkan hidupku selajutnya yang sangat menghantuiku. Siapa lagi
yang akan menanggung hidupkku dan anak-anaku… entahlah, aku sangat terpuruk
sekali waktu itu. Begitu pula dengan anak-anakku yang benar-benar harus
kehilangan satu-satunya sosok orang tua mereka yakni, suamiku tercinta.
Kepergian
mas Parman membuatku limbung deperti anak ayam kehilangan indukknya, keadaan
keluargaku kacau balau. Sepeninggal suamiku aku yang mengurus semua
pekerjaannya, selama ini aku tidak pernah ambil bagian dalam urusan ini, aku
sama sekali tidak tau menahu bagaimana harus melakukannya. Tapi semua usahaku
untuk mengurus peninggalan suamiku hancur, semua pekerja menghilang, aku tidak
tahu apa sebab jelasnya, mungkin memang aku tidak pandai mengurus pekerjaan
karena yang kutahu selama ini hanyalah bagaimana merias diri dan menghamburkan
uang.
Bingung
karena sudah tidak banyak lagi kekayaan mas Parman yang tersisa akupun menjual
semua sawah yang kami miliki agar aku bisa terus bersenang-senag dengan uang.
Aku tak ambil pusing dengan Yudi, Huda, Rohmah, dan Rukha, meski aku ibunya aku
tak seberapa kenal dengan mereka selama ini mereka lebih dekat dengan bu leknya
atau adik-adikku. Biar Yudi menjadi anak badung sekalipun bahkan sampai
dikeluarkan dari sekolahnya aku tak perduli, yang penting bagiku
bersenang-senang dan menghamburkan uang. Sampai pada suatu saat aku bertemu
dengan mas Seno seorang lelaki yang dapat memikat hatiku kembali. Dia mengaku
adalah seorang komandan ABRI, waktu itu tenatara sangat dihormati hingga aku
sangat tersanjung. Tak beberapa lama kamipun menikah.
Malang
kepalang aku ini, ternyata aku hanya dibohongi oleh mas Seno. Ia bukanlah
anggota ABRI, ia hanya tentara gadungan… lebih dari itu dia juga buronan polisi
atas kasus pencurian. Selama ini aku kenal mas Seno sebagai seorang yang
baik-baik, ia mengatakan kepadaku sedang ditugaskan di desaku, aku percaya saja
dan sudah menggantungkan diriku kepadanya. Walaupun aku marah sekali dengan mas
Seno aku tidak bisa berbuat apapun karena ku sudah menyerahkan diri sepenuhnya
kepadanya. Benar-benar keputus asaan yang kumiliki waktu itu, aku rela
kemanapun dan melakukan apapun demi mas Seno, karena aku sudah kalap dan gelap
hatiku.
Sebulan
setelah pernikahan kami desas desus kebohongan suami ke duaku ini sudah mulai
terdengar. Merasa terancam dengan keadaan seperti mas Seno mengajakku untuk
pindah ke luar pulau, saat itu di desa tetangga kami sedang ada pendaftaran
imigrasi ke kalimantan. Akhirnya kami pun mendaftar dan pindah ke Kalimantan
selatan daerah pedalaman, jauh dari kota. Mengetahui rencana seperti itu
adik-adikku sangat tidak senang sekali, ia tidak tega membiarkan ke 4 anakku
ikut pindah denganku. Aku tidak menghiraukan mereka sama sekali, biar mereka
mau menahan anak-anakku disini aku tak perduli, dan itu bagus malahan… aku
tidak perlu repot-repot lagi mendengan racauan anak-anak nakal itu. Aku lebih
memilih hidup dengan mas Seno dari pada harus ribut mengasuh mereka.
Di
kalimantan kehidupan kami tidak semakin baik, kami disana hanya diberi rumah
dan lahan untuk memenuhi kehidupan. Tidak seperti mas Parman yang ulet mas Seno
adalah lelaki pemalas ia juga tidak pandai mengurus lahannya sendiri hingga
kami hanya bekerja menjadi buruh kebun saja selama berpuluh-puluh tahun disana.
Setelah jauh dirantau aku jadi sering teringat dengan anak-anakku di jawa.
Sudah jadi apakah Yudi dan Huda, sudah menikahkah Rohmah dan Rukha, sesak
sekali dadaku ini mengingat mereka. Kehidupan di kalimantan serba susah dan
sebuah janji mas Seno hanya bualan. Aku menyesal dan kecewa.
Kadangkala aku mengirim sepucuk surat ke Yudi, anak
pertamaku. Sekedar bertukar kabar dan kesusahan kami, selama ini Yudi tidak
pernah membalas surat dari ku, ia hanya mengirim wessel berisi sejumlah uang
kepadaku. Aku sadar aku tak pantas mengadu kepada mereka, anak-anakku yang
telah kusakiti. Suatu hari aku juga berkirim surat kepada Sari dan Tri untuk
meminta maaf, dari itu aku baru sadar kenapa mereka begitu menyayangi
putra-putriku. Saat mas Parman masih hidup secara diam-diam ia sering membatu
keluarga Sri dan Tri, maka dri itu adik-adikku merasa berhutang budi pada mas
Parman hingga mereka begitu menyayangi anakku.
bersambung....
Rabu, 25 Juli 2012
Karena Aku Seorang "Emak"
Layaknya
hutan yang tak bertuan, sepi sendiri di tengah hingar bingar meganhnya dunia.
Hanya lemah raga yang menemani dengan penyesalan tiada henti, aduan airmata
yang semakin deras saja setiap hari, penuh duka, amarah, kecewa dan sesal,
tidak kepada siapapun di sampingku, tapi amarah yang menyesakkakn hati atas
diri yang rentah dan hina, berkubang dosa, salah, semu hanyalah bayangan dunia
yang membutakan pandangan di masa lalu. Masa lalu yang telah menjadi luka bagi
hati-hati yang tak berdosa, bagi raga-raga yang masih lugu, meninggalkan
dendam, benci dan kekecewaan
Kamar
ini, sepercik air oase bagi padang prahara di hatiku. Memang bukanlah ruangan
yang indah dengan ornamen mewah, hanya sebuah bilik kecil. Bilik yang disekat
dengan dinding papan kayu seadanya dengan jendela kecil dekat langit-langit.
Tapi ini semua adalah isyarat, tanda sayang dan cinta dari putra sulung ku.
Anakku yang telah lama ku tinggalkan dan ku abaikan tanpa cinta, kasih serta
belaian sayangku. Aku mendurhaki mereka. Aku menyakiti mereka, aku.. aku..
hanya salah padaku atas mereka selama ini.
Aku
hanyalah seorang emak yang berkhianat pada kodrat sebagai wanita. Berpuluh
puluh tahun yang lalu aku adalah wanita tercantik di desaku, semua mata akan
tunduk syahdu memandang eloknya parasku, lelaki manapun pasti tergila-gila
dengan rupaku, layaknya bidadari sanjungan dari mereka. Hingga seorang pemuda
kaya raya berhasil mempersuntingku sebagai belahan jiwanya. Mas Parman, Suamiku
adalah juragan tanah yang makmur, sawahnya terhampar luas di desa itu, hasil
panennya terbaik diantara semua petani saat itu, tak heran kalau hidupku serba
makmur dan berkucupan. Tiada hal yang mustahil kumiliki, seakan jadi perempuan
paling beruntung didunia. Meski hidup di desa, aku bahagia, bersuka atas semua
hal yang dipenuhi suamiku dan atas segala penghormatan penduduk desa kepadaku
sebagai wanita terhormat dan kaya raya
Hidup
dengan kesempurnaan adalah hari-hariku, harta yang berlimpah, kehormatan yang
tinggi dan suami yang selalu mencintaiku. Dia sangat memujaku, atas
kecantikannku yang luar biasa menurutnya, lebih lebih aku telah bisa
menghadiahinya anak-anak dambaannya. 5 tahun menikah kami sudah memilki 3 anak,
2 laki-laki dan seorang perempuan, Yudi, Huda, dan Rohmah. Suamiku sangat
menyangi mereka dan selalu mencintaiku sehingga ia sama sekli tidak
menginginkanku melelahkan diri untuk mengurus anak-anak kami. Batur- baturpun
dibayar oleh mas Parman untuk mengurus gundik-gundik yang kulahirkan, sedangkan
aku hanyalah ia minta untuk menikmati apa yang berikan kepadaku dan
mempercantik diri untukku.
Hidup
dalam kemakmuran dan berkecukupan membuatku menjadi sosok yang lupa segalanya.
Duaniapun seakan sudah ada di genggamannku, aku tidak perduli dengan apapun
tetek bengek di sekitarku, memperindah diri sendiri adalah hal yang terpenting
bagiku. Mas parman memboyongku dari orangtuaku sejak kami menikah, sehingga aku
sudah jarang sekali bertemu dengan ke dua saudaraku, Sari dan Tri. Mungkin
karena harta yang membutakan hatiku, aku sudah berubah menjadi perempuan
sombong dan acuh. Pernah suatu hari Sari datang ke rumahku untuk meminta
bantuan, ia mengatakan padaku kalau anaknya sedang sakit keras dan di butuh
biaya besar untuk pengobatan anakknya. Entah apa yang kupikirkan waktu itu
sehingga aku menolak mentah-mentah kedatangannya yang seperti pengemis, bajunya
kotor, lusuh dengan rupanya sudah persis gelandangan, memang waktu itu suaminya
hanyalah seorang buruh angkut di pasar, sehari-hari keluarga mereka hidup serba
kekurangan, apalagi ditambah dengan anaknya yang sednag sakit parah, semakin
terpuruk saja keadaan adikku ini. Tapi itu semua sama sekali tidak membuat
hatiku tersentuh untuk membantunya. Aku malu punya saudara seperti dia.
Aku
tak bisa membayangkan bagaimana sakit hatinya Sari saat itu, tidak dengan
membantunya, aku malah mengusirnya. Aku marah padanya, salah sendiri kenapa dia
mau menikah dengan orang miskin seperti suaminya itu yang hanya bisa
memberikannya penderitaan sekarang saat dia kesulitan aku juga yang direpoti.
Aku merasa Sari terlalu bodoh dan aku tak peduli lagi dengan urusannya
sekalipun ia meronta-ronta memohon kepada ku tidak ada rasa kasihan di hatiku.
Esoknya Sari datang lagi dengan diantar Tri, dan aku tetap beku. Kuusir mereka
dan kuminta orang suruhan suamiku untuk menyeret mereka keluar rumahku.
”bagai
batu yang tak berhati dirimu mbak, aku tidak akan mengemis padamu lagi. Aku
kira sampeyan masih dulurku!!!, sesambung darah dari rahim…., tapi kalau memang
ati wis malih rupa, batupun tidak sekeras hatimu…. ” kata-kata itulah yang
sampai sekarang benar-benar lekat di benakku sebagai sesal di kemudian hari.
Mas
parman tidak pernah marah kepadaku, dia hanya bertutur kalem agar aku besikap
baik kepada saudara-saudaraku, tapi aku tetap segala-galanya bagi mas parman
sehingga dia tidak akan pernah menggugat buruknya perangaiku. Lebih-lebih
setalah aku melahirkan Rukha, anak keempatku. Bertambahlah suka cita dan cinta
suamiku kepadaku. Aku telah memberinnya dua anak lelaki dan dua anak perempuan
yang didambanya selama ini. Betapa ia merasa sempurna memandangku sehingga
kesalahan kesalahanku sudah tak tampak lagi baginya meski ada di pelupuk
matanya, yakni tergantikanya kasih sayangku kepada buah hati kami dengan harta
dan kekayaan yang kupuja dengan sepenuh jiwa raga.
Yudi,
Huda, Rohmah, dan Rukha secara badaniah adalah anak-anakku, darah dagingku dan
mas Parman, akan tetapi nyatanya, sehari-hari merekalah putra-putri batur-batur
yang kubayar untuk mengasuh mereka. Mereka memanggilku emak, hanya suatu
panggilan tentunnya, ada di bibir saja namun tak secuil hati mereka menyebutku
benar-bener sebagai seorang emak. Salahku sendiri memang, aku sangat jarang
memberi perhatian kepada mereka, hanya uang yang berlimpah kutitipkan pada
batur-batur untuk memenuhi segala permintaan anak-anakku. Aku tak sadar kalo
itu semua masih jauh dari cukup. Mereka tidaklah bahagia, hati mereka kering
dan akhirnya menjdi keras tanpa sentuhan kasih sayangku sebagai emak yang telah
melahirkan mereka.
Yudi dan Huda tumbuh menjadi anak yang menyusahkan
sekali, berkali-kali mereka berulah disekolah, dihukum gurunya bahkan hingga
dikeluarkan. Suamiku sangat marah, sedikit berbeda dengan diriku yang acuh, mas
Parman masih memperhatikan anak-anak kami, ia mendidik mereka dengan keras,
melatih mental mereka dengan tangannya sendiri, tak heran jika Yudi dan Huda
lebih hormat kepada bapaknya. Rohmah dan Rukha sangat menurut pada orang
tuanya, meski mereka anak perempuan perhatianku kepada mereka tidak lebih dari
perhatianku kepada batur-batur, kasar dan keras. Mungkin tidak salah bagi
mereka berempat kalau tidak ada sosok seorang ibu di hati mereka……
bersambung ke bagian dua..
(banyu pertiwi, 2010)
Senin, 23 Juli 2012
Dongeng: Thok Thok Ugel
Desa itu sangatlah
asri, hamparan sawah menghijau di masa semi lepas panen bulan lalu.. kicauan
burung prenjak di dahan dahan pohan lamtoro berirama bahagia pagi hari ini, para
pendudukpun saling bertegur sapa kala bertemu di jalan menuju sawah ladang yang
mereka kerjakan..
Aaah sungguh pagi yang
indah….
Eits..!! sebentaar..
ternyata cerita ini tidak sampai disini saja..
Siapa sangka dalam
damainya desa yang indah itu ada seorang raksasa yang tengah tertidur pulas di
balik bukit. Dengkurnya keras memecah malam sunyi, meski mentari bersinar
diapun enggan untuk beranjak dari pembaringan kerasnya. Sungguh sungguh raksasa
pemalas.
Thok thok Ugel, itulah
nama raksasa pemalas itu.. kerjanya setiap hari hanyalah mendengkur.. dengan
gerak tidurnya yang menggetarkan tanah. Thok thok ugel sudah lama berdiam di
desa itu, tak seorang pendudukpun yang tau dari mana asalnya, semula penduduk
takut pada Thok thok ugel, orang-orang khawatir jika raksasa itu akan
menghancurkan desa, akan tetapi mereka juga ngeri untuk mengusirnya.
Namun ternyata thok
thok ugel bukanlah raksasa yang jahat, tidak pernah menganggu penduduk atau
menakut nakuti orang, hanya saja dia amat malaaaaaaassss sekali.. setiap hari
kerjanya hanyalah tidur di guanya di balik bukit mendengkur dengan keras dalam
pulas tidurnya. Ia hanya terbangun jika perutnya lapar, kemudian beranjak dari
pembaringannya menuju desa untuk meminta makan kepada penduduk..
Minggu pun berganti
bulan, thok thok ugel masih keras mendengkur dan tak kunjung bangun, padahal
biasanya seminggu sekali ia bangun dan mencari makan. Setalah lebih dari sebulan
pun ia terbangun dengan perut kosong sangaat lapar. Ia ingin segera turun ke desa
untuk makan sebanyak banyaknya.. ia lapar sekali
Sampai didesa ia pun
bertemu dengan seorang petani baik hati yang biasa memberinya makan
“wahai pak tani yang
baik hati.. perutku ini sungguh ingin di isi, aku melihat ladang cabaimu sedang
berbuah banyak sekali, bolehkah aku memakannya? ” pinta thok thok ugel
“oalah gel gel.. kamu
lapar toh.. ya sudah silahkan, makan saja secukupnya.. ingat jangan terlalu
banyak.. cabai itu bisa membuatmu kepedasan” jawab pak tani
“terima kasih pak
tani, aku akan ingat ingat” janji thok thok ugel
Karena sangat lapar,
raksasa itupun makan dengan lahapnya.. makan makan dan makan terus. Ia sudah
lupa dengan janjinya paka pak tani. Hampir separuh ladang besar dihabiskannya,
dia hanya ingin makan sampai puas. Tak lama kemudian bibirnya terasa panas
sekali, rasa pedas cabe itu mulai ia rasakan, thok thok ugel pun bingung bukan
kepalang.. mulutnya berasa terbakar.. ia pun loncat loncat gelagapan karena
pedas dan berlari mencari air.
“hadooooh panaaass…
air, dimana air?” teriaknya sambil menangis kepedasan
“di bendugan banyak
air gel, minumlah disana” jawab bu tani
"ah iya.. aku mau
minum…” jawabnya girang
“tapi jangan
dihabiskan gel, nanti bendungannya kering, tak ada lagi air buat sawah sawah penduduk”
teriak bu tani pada raksasa itu
Namun thok thok ugel
sudah berlari tanpa memperhatikan ucapan bu tani.
Sampai di bendungan,
ia seperti menemukan air di tengah gurun pasir.. dia minum banyak banyak dan
tak peduli dengan apapun. Hingga tanpa terasa air bendungan itu pun habis dan
kering. Air satu bendungan besarpun berpindah ke perut raksasa itu. Karena banyaknya
cabai yang ia makan tadi ditambah air satu bendungan yang ia minum, thok thok
ugelpun ambruk tak dapat berdiri. Perutnya besar berisi air dan cabai, dia hampir
pingsan kelenger kabanyakan makan dan minum. Para penduduk hanya bisa
geleng-geleng melihat tingkah pola thok thok ugel.
“Ooalaaah gel, sudah
di beri tahu tadi kok yo ndak manut.. ndak nurut, sekarang bagaimana kamu itu”
kata bu tani
Thok thok ugel pun sdh
tak berdaya untuk sekedar menjawab, ia hanya bisa mendengar dan menyesali perbuatannya..
Tak seberapa lama datanglah
seekor kepiting danau, dia berjalan mengelilingi thok thok ugel dan berhenti di
atasnya. Setelah itu kepiting itupun mencapit perut tho thol ugel yang buncit
sebesar bukit.
“Duaaarrrr…!!!!!!!”
perut thok thok ugel meledak melngeluarkan air bendungan seisinya, dan
tamatlah riwayat thok thok ugel
Semua penduduk hanya
bisa terdiam dan prihatin, sebagai pengingat atas sifat makhluk Tuhan yang
seharusnya bersyukur dan menikmati pemberianNya dengan sewajarnya dan tidak
berlebihan. Makan minum secukupnya, tidak rakus dan selalu berbagi kebaikan
dengan sesama..
(banyu pertiwi)
(banyu pertiwi)
Minggu, 22 Juli 2012
Pemimpin Kepala Ikan
Hari kedua di bulan Romadhon
sahur kali ini agaknya berbeda dengan kemarin, di
hari yang lalu aku duduk sahur tanpa gairah bersama kakak dan istrinya serta
keponakanku.. Rasanya hambar dilidah, bukan karena tak berbumbu, tapi hilang
rasa dilidah akibat kantuk dan sepi.
Ya, sepi sekali... Rumah itu hanya dihuni 3 orang dan satu balita sedang orang tuaku bulan suci tahun ini sudah menempati rumah kami di jombang.
Karena kangen, dan merasa ada hak atas diriku pada
orang tuaku, akupun pulang ke jombang mengunjungi ibu dan bapak. Beliau berdua
menunggu dengan suka cita dan bahagia sekali ketika melihatku tiba 30 menit
stelah adzan maghrib berkumandang. Itulah bapak ibuku tercinta, aku akan selalu
jadi mutiaranya yang kepalang dicintainya seumur hidup.
bapak masuk ke kamarku untuk mengingatkan sahur ketika aku tengah asik merampungkan novel karya Remi Sylado yang begitu elok ceritanya hingga tanpa sadar mata ini belum terpejam dari isya hingga hampir imsya'. Beliaupun hanya geleng2 sambil menggumamkan nasehat untuk tidak membaca terlalu lama ditempat yg tidak banyak cahaya.
Akupun segera bangkit dan bergabung bersama bapak ibu untuk makan sahur lesehan sambil nonton tv. Dan menu mengejutkanku...
Sahur kali ini, ibu memasak ikan nila besar goreng. Dan ini adalah menu favoritku sejak kecil hingga saat ini, kenangan masa kecilkupun kembali hadir dalam senyumku saat dahulu bapak berkata,
bapak masuk ke kamarku untuk mengingatkan sahur ketika aku tengah asik merampungkan novel karya Remi Sylado yang begitu elok ceritanya hingga tanpa sadar mata ini belum terpejam dari isya hingga hampir imsya'. Beliaupun hanya geleng2 sambil menggumamkan nasehat untuk tidak membaca terlalu lama ditempat yg tidak banyak cahaya.
Akupun segera bangkit dan bergabung bersama bapak ibu untuk makan sahur lesehan sambil nonton tv. Dan menu mengejutkanku...
Sahur kali ini, ibu memasak ikan nila besar goreng. Dan ini adalah menu favoritku sejak kecil hingga saat ini, kenangan masa kecilkupun kembali hadir dalam senyumku saat dahulu bapak berkata,
"kau boleh habiskan semua asalkan kau juga
makan kepala ikan ini"
Padahal aku tidak suka kepala ikan yang pahit itu
Padahal aku tidak suka kepala ikan yang pahit itu
"Ndak pak, pait... Ndk enak, buat bapak saja. Kan jamu katanya" jawabku sekenanya
"Loh, harus.. Orang yang suka makan kepala ikan ini besok besarnya jadi pemimpin hebat" kata beliau dengan serius
"Iya kah pak?"
"Loh beneran" wajah bapakku tampak meyakinkan sekali, aku jadi mulai
percaya, namun tetap bimbang buat menelan yg pahit-pahit. Aku pun tak kurang
akal
"Ooo gitu ya pak, ya sdh besok aku akan makan banyak kepala ayam, bebek,
sama lele saja biar jadi pemimpin". Senyum kemenanganku berkembang
"Loh loh loh... Yo ndk bisa, yang bisa jadi orang hebat itu ya yang berani makan kepala ikan yg pahit ini bukan yg enak-enak kayak gitu" balas bapakku..."
"Loh loh loh... Yo ndk bisa, yang bisa jadi orang hebat itu ya yang berani makan kepala ikan yg pahit ini bukan yg enak-enak kayak gitu" balas bapakku..."
Dan akupun cuma bisa mecucu (bersungut) sambil mencoba menelan bagian kepala
ikan yang tak kusukai itu, karena aku ingin jadi anak yg berbakti karena kata
embahku kata orang tua itu sakti...
Sahur kali ini pun aku masih tersenyum mengingat kenangan itu, dan tanpa kata-kata apapun, bapak menyorongkan kepala ikan kepadaku meski sampai sekarang aku tidak suka rasanya. Penerimaanku kali ini lebih dari nriman sebagain anak, namun lebih karena aku sudah faham apa makna kepala ikan dari bapak itu.
Sahur kali ini pun aku masih tersenyum mengingat kenangan itu, dan tanpa kata-kata apapun, bapak menyorongkan kepala ikan kepadaku meski sampai sekarang aku tidak suka rasanya. Penerimaanku kali ini lebih dari nriman sebagain anak, namun lebih karena aku sudah faham apa makna kepala ikan dari bapak itu.
Seorang pemimpin adalah seorang yang berjuang dengan
hati yang dilandasi dengan kesabaran, ketulusan, keikhlasan, dan kecerdasan.
Dari kecil aku selalu berkomentar, karena itulah menurut bapakku aku tidak
terlalu bodoh... Namun itu pula yg menandakan ketidak sabaranku. Oleh karena
itu beliau memberiku kepala ikan sebagai simbol sebuah pesan kepada buah
hatinya untuk belajar sabar dan ikhlas...
Pemimpin itu harus berjuang, ngerdatin dan prihatin. Tidak memilih ujian, tidak menentang cobaan.. Tapi menjadikannya sebagai tantangan, menjalani dengan ikhlas, sabar dan berlaku sebaiknya, karena insyaAllah akan menjadi peluang berharga untukku.
Menjadi seorang pemimpin, tidak bisa atau lebih tepatnya tidak boleh memilih yang hanya disuka, menjalani yang dicinta, namun harus berani menelan pahitnya rasa kepala ikan itu, getirnya pengalaman mengayomi dan memperjuangkan keluarga yang dipimpinnya. Karena pemimpin tak lagi menyoal rasa sedap didirinya seorang, akan tetapi juga rasa nyaman pada orang-orang disekitarnya...
Pemimpin itu harus berjuang, ngerdatin dan prihatin. Tidak memilih ujian, tidak menentang cobaan.. Tapi menjadikannya sebagai tantangan, menjalani dengan ikhlas, sabar dan berlaku sebaiknya, karena insyaAllah akan menjadi peluang berharga untukku.
Menjadi seorang pemimpin, tidak bisa atau lebih tepatnya tidak boleh memilih yang hanya disuka, menjalani yang dicinta, namun harus berani menelan pahitnya rasa kepala ikan itu, getirnya pengalaman mengayomi dan memperjuangkan keluarga yang dipimpinnya. Karena pemimpin tak lagi menyoal rasa sedap didirinya seorang, akan tetapi juga rasa nyaman pada orang-orang disekitarnya...
Dan perjuangan itupun harus ditempuh dengan langkah berani, tidak pula dapat
diganti dan dihindari.
Oleh karena kepala ikan pemberian bapak itulah aku
yakin, hanyalah orang-orang yang berani merasa getirnya perjuangan dan melaksanakan
dan tulus ikhlas yang kelak kan dapat menjadi pemimpin yang bijak nan arif.
Semoga Allah menjadikan kita semua termasuk dalam golongan hamba-hambanya yang dikaruniai petunjuk, rahmat dan berkahNya aamiin
Semoga Allah menjadikan kita semua termasuk dalam golongan hamba-hambanya yang dikaruniai petunjuk, rahmat dan berkahNya aamiin
Kamis, 19 Juli 2012
Perjuangan sang nenek
Jogja 17 juli 2012
Saat ini fajar telah menyingsing, sang mentari kembali
tersenyum, mebelai bumi dengan hangat setelah semalaman gelap malam
bercengkrama dengannya. Hiruk pikuk manusia mulai bersua sejak pagi buta dan
makin ramai saat sang surya sepenggala… anak2 berseragam rapi menyandang tas
hendak menuntut ilmu, para bapak berlalu lalang di jalanan menuju sumber
nafkahnya, sedang para ibu tampak ramai menuju pasar.. bertukar harta denga
pengisi lambung keluarganya.. sungguh luarbiasa.. belum lah sang mentari berkedip
menyapa, mata para ibu sudah tak mengerjap kantuk.. langkahnya siap berjuang
mengayomi dan berbakti pada keluarganya.. seperti banyak ibu yg kulihat di kota
jogja pagi ini..
Lagkah kakiku dikehendakiNya untuk menapak di kota budaya
sepekan ini.. setengah pekan kuhabiskan untuk menunaikan tugas Negara sebagai
seorang pelajar, menkaji suatu inovasi dan melaporkan sebuah capaian belajar,
dengan fasilitas Negara yg memuliakan pelajar.. sisi hedonisme kota ini sudah
kunikmati.. dan sekarang nurani menginginkan untuk menjelajah sebuah keaslian
dalam kesederhanaan yang rumit.. belajar dari kesahajahan dan memahami
kehidupan..
Perjalan pagi ini kuawali dengan mengunjungi pasar tradisional
ngasem, di pasar ini aku hendak mencari beberapa perkakas dan peralatan untuk
membatik.. malam, canthing dan pewarna. Memang aku sedang belajar membatik.
Meski baru bermula namun kuniati untuk menekuninya sebagai wanita Indonesia
sejati, dengan kearifan local yang begitu berharga..
Dari penginapanku di jl. ahmad dahlan aku berjalan kaki saja ke
pasar ngasem, sekitar 500km. sengaja aku memilih berjalan kaki.. karena aku
ingin melihat kehidupan daerah ini dengan lebih jeli. Disepanjang perjalanan
banyak kulihat kaum ibu yang bekerja.. baik di toko maupun di rumah produksi
seragam yg banyak di daerah itu, mereka menjahit dengan tekun dan hati-hati.
Sampai di pasar ngasem
aku mulai berkeliling untuk sekedar bertanya letak kios yg menjual barang yg
kuinginkan.. namun ada hal yg menarik di pasar tersebut. Mayoritas pedagang di
pasar ngasem adalah para nenek.. mereka sudah sepuh tapi masih kuat dan
lincah..
Entah tidak bisa atau karena sungkan, para nenek pedagang di
pasar ngasem berbicara dengan jawa kromo alusan kepada setiap orang yg
bertanya, mereka selalu tersenyum ramah dan berbicara dengan halus yg sungguh
enak di dengar. Dalam hatiku bertanya..
kenapa mereka masih berjualan, masih bekerja di masa tua mereka..
seharusnya mereka istirahat.. akupun tak tau alasannya.. akan tetapi mereka
tampak bahagia.. tanpa guratan sedih di wajah mereka.. mungkin memang itu
pilihan mereka..
Tak kalah dengan para nenek di pasar ngasem, di pasar
beringharjo (pasar besar batik di jln malioboro) hamper semua yg berjualan
adalah para ibu, bahkan banyak para wanita paruh baya dan nenek menjadi kuli
panggul disana, mereka membantu para pembeli mengangkat barang belanjaan ke
tempat parkir atau ke becak dan diupahi beberapa lembar uang ribuan. Langkah
mereka sigap, punggung siap menerima beban dan langkah kakinyapun juga tegas
menapak penuh tanggung jawab untuk memenuhi amanah pengguna jasanya.
Melihat para ibu yg hebat itu.. aku hanya bisa tertegun,
subhanallah.. hebat sekali perjuangan mereka demi keluarganya…. pungung dan
telapak kaki mereka yg kasar krena beradu dengan jalanan kelak kan jadi saksi
kisah mereka dihadapan sang Pencipta, peluh kan serupa mutiara dan bercerita
tentang hidup mereka.. sungguhpun badan mereka bermandi keringat, namun senyum
selalu mengembang walau hanya beberapa ribu rupiah ditangan. Dalam kesahajaan
mereka kutemukan sebuah himah.. arti
sebuah keikhlasan, dan ketulusan dalam perjuangan, suatu kesederhanaan
yg mempesona..
Semoga Allah memudahkan para ibu yang begitu hebat itu… dan
melimpahkan berkah di setiap langkah perjuangannya..
“Suatu perjalanan tentulah sarat akan hikmah dan pelajaran..
didalamnya terdapat begitu banyak ilmu.. ilmu hidup dan kehidupan.. yg
menceritakan bagaimana besar kuasnyaNya dan bagaimana mulianya Allah atas
rahmatNya…”
Langganan:
Postingan (Atom)